in the name of Allah the most gracious the most mercyful

Kamis, 08 Maret 2012

ILMU HADIS_Tugas Final Semester I


ini tugas final saya semester I, sekiranya bermanfaat... 



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam tradisi Islam, hadis Nabi menduduki posisi kedua dalam hierarki sumber ajaran-ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagaimana diketahui, adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan Bahasa Arab. Posisi dan tugas Nabi dalam konteks ini adalah sebagai penafsir awal atas ketidakjelasan atau keumuman ayat-ayat Al-Qur’an ini. Penjelasan dan penafsiran tersebut kemudian disebut dengan Hadis.
Hadis merupakan salah satu sumber Islam yang bersifat primer, maksudnya ketika seseorang hendak menetapkan sebuah hukum dalam agama Islam mesti baginya untuk mempelajari dan mendalami tentang Hadis.
B.    Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian hadis ?
2.      Apa sajakah sinonim hadis ?
3.      Apa sajakah stuktur hadis ?
4.      sebutkan perbedaan Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Qur’an ?
5.      sebutkan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits
Hadis menurut etimologi, berasal dari akar kata :
حدث   يحدث   حدوثا    وحداثه
Hadis dari akar kata tesebut memiliki beberapa makna diantarannya:
1.      اَلْجَدِيْدُ (al-jadi<d: baru), lawan kata dari اَلْقَديْمِ (al-qadi<m: terdahulu), misalnnya: alam baru. Alam maksudnya segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna ini mempunyai makna konteks teologis, bahwa segala kalam selain Allah bersifat hadis (baru) sedangkan Al-Qur’an bersifat qadi<m (terdahulu).[1]
2.      اَلْقَرِيْبُ (al-qari<b: dekat) atau belum lama terjadi, seperti dalam kalimat:
هُوَ حَدِ يْثُ الْعَهْدِ بِالا سْلاَم
(dia orang baru/ belum lama mengenal Islam).[2]
3.      اَلْخَبَرُ (al-khabar: berita) oleh karena itu ungkapan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan hadis jika bersambung sanadnya selalu mengungkapkan:  حدثنا(memberitakan kepada kami atau mengabarkan kepada kami dan menceritakan kepada kami).
Dari segi terminologi ulama hadis mendefinisikan
ماأضيف اِلى النبي صلى الله عليه وسلم سواء كان قولا أو فعلا أو تقريرا
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.[3]

Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, selain Al-Qur’an Al-kari<m, baik berupa perkataan, perbuatan maupun takrir nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’.
Adapun menurut istilah para fuqaha<’, hadi<s adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.
Dari perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadis, yakni dalam artian sempit dan dalam artian luas. Pengertian hadis secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur Al-Muhaddis|in, adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, pernyataan (Taqrir) dan sebagainnya.


Adapun pengertian hadis secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi adalah sesungguhnya hadis bukan hanya dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya dari tabi’in).[4]
Dari definisi di atas dapat memberi kesimpulan, bahwa hadis mempunyai beberpa komponen yakni:
a.       Hadis perkataan (qawli) adalah sabdanya dalam segala sesuatu yang bersangkutpaut dengan dengan syara’, mengandung hukum, akhlak, pendidikan dan lain sebagainnya. Contoh perkataan Nabi yang mengandung hukum:
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيممي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما جاهر إليه )  رواه البخارى و مسلم
“Dari Umar bin Khattab RA berkata, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: bahwasanya telah dikatakan amal itu hanya yang disertai dengan niat dan bahwasanya setiap orang hanya akan memperoleh pahala amalannya sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perkataan ini menetapkan suatu hukum bahwa tidak sah segala amal menurut syara’ jika tidak disertai dengan niat.
b.      Hadis perbuatan (fi’li) adalah perbuatan yang pernah beliau kerjakan yang mengandung syara’, adakalanya perbuatannya tersebut merupakan penjelasan praktis terhadap ketentuan-ketentuan yang belum jelas cara pelaksanaannya. Salah satu contoh hadis fi’li ialah cara bersembahyang sunnah di atas kendaraan yang sedang berjalan. Hal ini telah dikerjakan oleh Rasulullah dihadapan para sahabatnnya. Riwayat yang menceritakan peristiwa tersebut adalah sebagai berikut: 
حدثنا مسلم قال حدثنا هشام قال حدثنا يحيى بن أبي كثير عن محمد بن عبد الرحمن عن جابر قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي على راحلته توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة 
“Dari Jabir r.a berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat di atas kendaraannya dimana kendaraan itu menghadap, dan apabila beliau hendak melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraanya dan menghadap kiblat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara perbuatan Nabi ada pula yang tidak disyariatkan untuk mengikutinnya, karena merupakan suatu pengecualian dan khusus untuk Nabi dan tidak untuk umatnya. Misalnya, Rasul boleh mengawini wanita yang datang menawarkan dirinya diri kepadanya tanpa mahar (maskawin).[5] Dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab:50
وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِين
Dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min.

c.       Hadis penetapan/ persetujuan (Taqrir) Nabi adalah keadaan beliau yang mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh para sahabatnya. Misalnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِى أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِىَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ اللاَّتِى فِى بَيْتِ مَيْمُونَةَ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ. فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِى فَأَجِدُنِى أَعَافُهُ » قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْظُرُ.
“Maafkan, berhubung binatang itu tidak ada dikampung kaumku, maka aku jijik padanya”, berkata Khalid: “Aku segera memotongnya lalu memakannya dan Rasulullah melihat kepadaku.” HR. Bukhari dan Muslim.

d.      Dan ada pula sebagian ulama yang memasukkan definisi hadis sifat (washfi), karena banyak sekali riwayat yang menerangkan tentang sifat dan tabiat beliau. Dan Ath-Tirmidzi menyusun sebuah buku tentang tabiat (syama’il) beliau.[6] Diantara contohnya adalah:
Dari Abi Ishaq, dia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Al-Bara’, “Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?” dia menjawab, “tidak, tapi  seperti rembulan” HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadis Hasan Shahih.”[7]

Sifat Nabi SAW diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, sebagai berikut:
Rasulullah SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya.
Tentang keadaan fisik Nabi SAW., telah dijelaskan dalam hadis,
حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا إسحاق بن منصور عن إبراهيم بن يوسف عن أبيه عن أبي إسحاق قال سمعت البراء يقول:كان رسول الله صلى الله عليه و سلم أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا ليس بالطويل الذاهب ولا بالقصير  
“Rasul SAW. Adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek.” (HR. Bukhari).[8]




B.    Sinonim Hadis
Dalam ilmu hadis sering juga, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar. Berikut ini pemakalah akan membahas pengertian masing-masing, yaitu sebagai berikut:
1.     Sunnah
Sunnah menurut bahasa ialah jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga dapat diartikan sebagai tradisi yang kontinu dengan kata lain apabila suatu perbuatan telah biasa dikerjakannya walaupun perbuatan itu tidak baik disebut juga dengan sunnah. Kedua pengertian tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW:
« مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ » رواه البخارى و مسلم
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang-orang yang mengajarkannya hingga hari kiamat. Dan barang siap yang mengadakan suatu sunnah (jalan buruk, maka ia berdos atas perbuatannya itu dan menanggung doa orang-orang yang menakutinya hingga hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).

« لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ » رواه مسلم
“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan) orang sebelum kamu, sejengkal dan sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang biawak, sungguh kamu memasukinya juga” (HR. Muslim)

            Sedangkan sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama[9], diantrannya sebagai berikut:
a.       Menurut ulama ahli hadis, ada ulama yang mendefinisikan dengan singkat bahwa
أقوال النبي صللى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan segala tingkah lakunya.

b.      Menurut Ulama Ushul Fiqih
Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW baik yang bukan Al-Qur’an baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil dan hukum syara’
Sunnah menurut ulama Ushul Fiqih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu perbuatan tidak dijadikan dalam dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan, meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka kebiasaan sehari-hari seperti itu tidak dinamakan sunnah.
c.       Menurut Ulama Fiqih
Sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah SAW dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka menurut mereka adalah sifat yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
                        Menurut ulama Fiqih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengajarkannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain sebagainya.

Dari perbedaan para ulama dalam mendefinisikan sunnah lebih disebabkan karena perbedaan disiplin ilmu yang mereka miliki atau yang mereka kuasai dan ini menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia yang dibatasi pada bidang-bidang tertentu. Ulama hadis melihat nabi sebagai figur keteladanan yang baik (uswatun hasanah), maka semua yang datang dari nabi adalah sunnah. Ulama ushul fiqih melihat pribadi nabi sebagai pembuat syari’at, penjelas kaidah-kaidah kehidupan masyarakat, dan pembuat dasar-dasar ijtihad. Ahli fiqih memandang segala perilaku nabi mengandung hukum lima, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh.[10]
2.     Khabar
Menurut bahasa khabar berarti berita. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat yaitu:
·         Pendapat yang membedakan pengertian khabar dengan hadis menganggap bahwa kebanyakan ulama mengkhususkan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari nabi, sedangkan khabar sesuatu yang berasal dari selainnya. Maksudnya tiap-tiap hadis termasuk khabar, tapi tidak setiap khabar adalah hadis. Oleh karena itu dikatakan, orang yang tekun (menyibukkan diri) pada hadis disebut dengan Muhaddits, sedangkan orang yang tekun pada sejarah atau semacamnya disebut dengan Akhbary.[11]
·         Sebagian ulama menyatakan bahwa khabar itu sinonim dengan hadis. Oleh karena itu mereka menyatakan, bahwa khabar adalah apa yang datang dari nabi, baik yang marfu’ (yang disandarkan kepada nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), maupun yang maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in). Dengan kata lain, bahwa khabar itu mencakup apa yang datang dari nabi, sahabat dan tabi’in.[12]
3.     Atsar
Menurut bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu menurut kebanyakan ulama, menurut istilah ada pendapat
·        Atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadis, dan makna kedianya sama.[13]
·        Namun menurut sebagian ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum dibanding dengan khabar.
ما جاء عن غير صلى الله علليه وسلم من اصحابة أو من دونهم
Sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW dan dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.[14]

Menurut Ibnu hajar atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’).[15] Berikut rangkuman perbedaan antara hadis, sunnah, khabar dan atsar.
Hadis dan sinonimnya
Sandaran
Aspek dan spesifikasi
Sifatnya
Hadis
Nabi
Qawli, fi’li, Taqriri
Lebih khusus dan sekalipun dilakukan sekali
Sunnah
Nabi dan para sahabat
fi’li
Menjadi tradisi
Khabar
Nabi dan selainnya
Qawli, fi’li
Lebih umum
Atsar
Sahabat dan tabi
Qawli, fi’li
Umum

C.    Struktur Hadis
1.     Komponen-komponen Hadis
Secara struktur yang terkandung dalam hadis ada tiga komponen, yaitu sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharij (rawi). Berikut adalah contoh yang memuat ketiga unsur tersebut
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار ) رواه البخارى
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mutsiny, katanya “telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, katanya, telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilablah dari Anas dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasaka manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain kedunya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.” (HR. Bukhari)[16]

Dari hadis tersebut kita lihat bahwa hadis tersebut terdiri dari tiga kompponen yang pertama sanad,
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad Al-Mutsiny, katanya “Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, katanya, telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilablah dari Anas dari Nabi SAW”

            Kedua, adalah matan
( ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار )
“Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasaka manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain kedunya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.”

            Selanjutnya disamping kedua komponen tersebut, dalam hadis juga ada komponen tambahan yang menyebutkan sumber hadis itu yang disebut dengan mukharij (rawi)
رواه البخارى
Riwayat Bukhari
Maksudnya hadis tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehingga bisa dilacak hadis tersebut dalam Shahih Bukhari.[17]
2.     Sanad
Sanad menurut bahasa ialah ....ماارتقع من الأرض, yaitu bagian bumi yang menonjol, sesuatu yang berada di hadapan jauh dari kaki bukit ketika memandangnya. Bentuk jamaknya adalah أسناد. Segala sesuatu yang disandarkan kepada yang lain disebut مسند. Dikatakan أسند في الجبل, maknanya seorang mendaki gunung. Dikatakan pula فلان سند, maknanya seseorang menjadi tumpuan.[18] Bisa dikatakan pula sebagai utusan atau wakil (yang dapat dipercaya).
Menurut istilah adalah silsilah periwayatan (mata rantai) hadis menuju matan hadis.[19] Maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadis tersebut, mulai orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasulullah.[20]
Dalam hal ini dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut sampai melalui periwayatan para Mukharrij. Contohnya urutan Mukharrij mulai dari
1.      Muhammad Al-Mutsiny,  sanad pertama (awwal al-sanad)
2.      Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, sanad kedua
3.      Ayyub, sanad ketiga
4.      Qilablah, sanad keempat
5.      Anas, sanad kelima atau akhir al-sanad
Karena ada istilah  awwal al-sanad dan akhir al-sanad, maka ada juga yang disebut awsath al-sanad, atau pertengahan sanad. Dari contoh diatas, yang menjadi awsath al-sanad keseluruhan sanad yang berada antara awwal al-sanad dan akhir al-sanad yaitu Abdul Wahab Al-Tsaqafiy, Ayyub, Qilabah.
Jumlah sanad dalam hadis tidak mesti hanya berjumlah lima saja seperti contoh diatas, tetapi ada pula yang kurang atau lebih. Dalam hubunganya dengan isitilah sanad, dikenal juga dengan istilah-istilah seperti musnid, musnad, dan isnad.
Yang dimaksud dengan musnid adalah orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya. Yang dimaksud dengan musnad adalah hadis yang disebut dan diterangkan seluruh sanadnya yang sampai kepada Nabi SAW. Pengertian lain tentang musnad ialah kitab-kitab hadis yang didalamnya dikoleksikan oleh penyusunannya, kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat misalnya Abu Hurairah saja dalam bab tertentu, kemudian yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab lainnya secara khusus.
Adapun yang dimaksud dengan isnad ialah menerangkan suatu penjelasan sanad hadis (jalan datangnya hadis). Istilah shighat al-isnad yang berarti lafadz-lafaz yang ada dalam sanad yang digunakan oleh para rawi pada saat menyampaikan hadis atau riwayat.[21] Berikut delapan tingkatan Shigat al-isnad tersebut

Tingkatan
Shighat al-isnad
I
سمعت
Saya telah mendengar
سمعنا
Kami telah mendengar
حدثني
Ia telah menceritakan padaku
حدثنا
Ia telah menceritakan pada kami
قال لي
Ia telah berkata padaku
قال لنا
Ia telah berkata kepadakami
ذكر لي
Ia telah menyebutkan kepadaku
ذكرلنا
Ia telah menyebutkan kepada kami
II
أخبرني
Ia telah mengabarkan kepada ku
قرأت عليه
Saya telah membaca padanya
III
أخبرنا
Ia telah mengabarkan kepada kami
قرئ عليه وأناأسمح
Baca kepadanya sedang saya mendengarnya
قرأنا عليه
Kami telah membaca kepadanya
IV
انبأنى
Ia telah memberi tahu kepadaku
نبأنى
Ia telah memberi tahu kepada ku
انبأنا
Ia telah memberitahu kepada kami
نبأنا
Ia telah memberi tahu kepada kami
V
ناولى
Ia telah menyerahkan kepadaku
VI
شافهنى
Ia telah mengucapkan kepadaku
VII
كتب اٍلى
Ia telah menuliskan kepadaku
VIII
عن
Dari, daripada
أن,اٍن
Sesungguhnya, bahwasanya
وجلت فى كتابى عن
Saya temukan dala kitab saya
روى
Ia telah meriwayatkan
قال
Ia telah berkata
وكر
Ia telah menyebut
بلغو
Telah sampai kepadaku
وجدت بخط فلان
Saya telh memperoleh dengan tulisan si fulan
3.    Matan
Menurut bahasa, matan berarti punggung jalan (muka jalan); tanah yang keras dan tinggi. Matan kitab adalah bersifat kontemporer dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. [22] Bentuk jamaknya adalah mutun dan mitan.[23]
Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Rasulullah SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.[24] Dengan kata lain, matan adalah redaksi dari hadis. Bisa dikatakan pula lafaz hadis yang mengandung makna. Para ulama mencegah attau melarang menerima hadis yang tidak jelas sanadnya karena takut adanya kebohongan.[25] Terkait dengan matan redaksi yang perlu dicermati dalam memahami hadis adalah:
1.      Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
2.      Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat Al-Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).[26]
4.   Rawi
            Kata rawi atau Ar-Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan atau menuliskan hadis dalam suatu kitab apa yang pernah didegar atau diterima dari seorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwat. Perbuatan yang menyampaikan hadis tersebut dinamakan meriwayatkan hadis.[27] Orang yang membukukan atau menghimpun hadis dalam suatu kitab tadwin selain rawi dapat disebut  juga mudawwin.[28] Contohnya hadis yang ditemukan dalam kitab hadis disusun oleh Imam Bukhari yang dikenal sebagai صحيح البخاري
D. Perbedaan Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Qur’an
 Hadis dilihat dari sandarannya ada dua yang pertama disandarkan kepada Nabi sendiri disebut Hadis Nabawi, kedua disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Pada umumnya kebanyakan yang mengira nama qudsi itu sendiri diartikan suci, namun tidak semua Hadis Qudsi itu shahih. Berikut penelusuran maknanya.
1.  Hadis Qudsi
Hadis Qudsi secara bahasa berasal dari kata qudasa, yaqdusu, qudsan artinnya suci atau bersih. Jadi secara bahasa Hadis Qudsi secara bahasa ialah hadis bersih atau suci. karena ia bersumber dari Allah yang maha suci dan dinamakan hadis karena nabi yang memberitakannya disandarkan dari wahyu Allah SAW. Sekalipun diartikan suci namun itu merupakan sifat bagi hadis, sandaran hadis kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadis. Oleh karena itu, tidak semua Hadis Qudsi itu shahih tapi ada yang hasan dan dha’if tergantung persyaratan periwayatan yang terpenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.[29]
Secara istilah banyak definisi degan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi dari semua definisi tersebut, pemakalah dapat menarik kesimpulan bahwa Hadis Qudsi ialah sesuatu yang diberitakan Allah SAW. kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi, kemudian Nabi SAW. menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ngkapan sendiri. Contoh Hadis Qudsi ialah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصَمْتُهُ : رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوَفِّهِ أَجْرَهُ.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda, “Allah SAW. berfirman, ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka kelak di hari kiamat. Siapa yang Aku menjadi musuhnya, maka Aku akan menjadi musuhnya. Seseorang yang memberikan (janji) kepada Ku lalu mengingkari. Seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualnnya. Dan seseorang yang memperkerjakan kariawan, lalu kariawan itu memenuhi tugasnya, tetapi  orang itu tidak memenuhi upahnya.”

            Jumlah Hadis Qudsi tidak terlalu besar hanya sekitar 400 buah hdis secara terulang-ulang sanad atau sekitar 100 buah hadis lebih (ghayr mukarrar), ia tersebar dalam 7 kitab induk hadis. Mayoritas kandungan Hadis Qudsi tentang akhlak, aqidah, dan syariah. Diantara kitab Hadis Qudsi, Al-Hadits Al-Qudsiyah, yang tditerbitkan oleh Jumhur Mesir Al-Arabiyah, Wuzarah Al-Awqaf Al-Majalis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyyah Lajnah As-Sunnah, Cairo 1988 dan lain-lain.[30]
2.     Persamaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi
Hadis Qudsi dengna hadis nabawi pada dasarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firmannya
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (kepadanya). (QS. An-Najm: 3-4) 
Rasulullah SAW. juga bersabda,
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Miqdam nim Ma’di Kariba, dari Rasulullah SAW., beliau bersabda, ingatlah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan semisalnya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).[31]

3.     Perbedaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi
Perbedaan antara hadis nabawi dan Hadis Qudsi dapat diilihat dari segi penisbatan, yaitu hadis nabawi dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. dan diriwayatkan dari beliau sehingga sehingga dinamakan hadis nabawi. Adapun Hadis Qudsi dinisbatkan kepada Allah, kemudian Rasulullah menceritakan dan meriwayatkan dari Allah. Oleh karena itu diikt dengan sebutan Qudsi.[32]
4.     Perbedaan Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an
Ada beberapa perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, sebagai berikut:
Ø  Al-Qur’an Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, dengan itu pula orang Arab ditantang untuk membuat yang semisal dengan itu tetapi mereka tidak mampu sedangkan Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
Ø  Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya sudah mutlak. Hadis-hadis Qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan ada kalanya Hadis Qudsi itu shahih, terkdng hasan, dan da’if
Ø  Al-Qur’an Al-Karim dari Allah, baik lafaz maupun maknanya maka Al-Qur’an adalah wahyu, baik dalam lafal maupun makna. Adapun Hadis Qudsi, maknanya saja tapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.
Ø  Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga diperintahkan untuk dibaca dalam shalat. Adapun Hadis Qudsi tidak diperintahkan untuk membacanya dalam shalat. Membaca Hadis Qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan di dalam hadis mengnai membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf terdapat kebaikan.[33]



E.  Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
            Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an secara umum adalah unutk menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang ssangat dalam dan global atau li al-Bayan (menjelaskan) sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surah An-Nahl: 44[34]
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٤٤﴾ 
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
            Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada tiga makna fungsi penjelasan (Bayan) hadis terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:[35]
1.     Bayan Ta’kid
Posisi hadis sebagai penguat  atau memperkuat keterangan Al-Qur’an (Ta’qid). Sebagian ulama menyebut Bayan Ta’qid atau Bayan Taqrir artinya hadis yang penguat tentang apa yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an, misalnya hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. [36]
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )
Dari Ibn Umar ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: Islam didirikan atas lima lima perkara: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan. (HR. Al-Bukhari).
2.     Bayan Tafsir
Hadis sebagai pejelas (Tafsir) atau menafsirkan yang mujmal di dalam  Al-Qur’an, maka hadis menjelaskan maksudnya. Seperti dalam Surah Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

            Pemotongan tangan pencuri dalam ayat tersebut secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, siku, dan pergelangan tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadis ketika ada seseorang pencuri yang datang ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangannya.[37]    
3.  Bayan Tasyri’i
Yaitu menempatakan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an, ia bukan penjelas (Tafsir)  dan bukan penguat (Ta’qid). Tetapi sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Misalkan keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap daging yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibi dan paman wanitanya. Hadis Tasyi’ri diterima oleh para ulama karena kapasitas hadis juga sebagai wahyu dari Allah SWT. yang menyatu dengna Al-Qur’an, hakikatnya ia juga merupakan penjelasan yang implisit dalam Al-Qur’an.[38]

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
·         Hadis menurut etimologi, berasal dari akar kata :
1.      اَلْجَدِيْدُ (al-jiddah: baru), lawan kata dari اَلْقَديْمِ (al-qadi<m: terdahulu), bahwa segala kalam selain Allah bersifat hadis (baru) sedangkan Al-Qur’an bersifat qadim (terdahulu).
2.      اَلْقَرِيْبُ (al-qarib: dekat) atau belum lama terjadi.
3.      اَلْخَبَرُ (al-khabar: berita) oleh karena itu ungkapan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan hadis jika bersambung sanadnya selalu mengungkapkan:  حدثنا(memberitakan kepada kami atau mengabarkan kepada kami dan menceritakan kepada kami).
Dari segi terminologi ulama hadis mendefinisikan Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.
Dari definisi di atas dapat memberi kesimpulan, bahwa hadis mempunyai beberpa komponen yakni:
a.    Hadis perkataan (qawli) adalah sabdanya dalam segala sesuatu yang bersangkut paut dengan dengan syara’.
b.    Hadis perbuatan (fi’li) adalah perbuatan yang pernah beliau kerjakan yang mengandung syara’.
c.    Hadis penetapan/ persetujuan (Taqrir) Nabi adalah keadaan beliau yang mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh para sahabatnya.
d.      Dan ada pula sebagian ulama yang memasukkan definisi hadis sifat (washfi).
·         Dalam ilmu hadis sering juga, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah, khabar, dan atsar.
1.        Sunnah menurut bahasa ialah jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga dapat diartikan sebagai tradisi yang kontinu
2.        Khabar menurut bahasa khabar berarti berita.
3.        Atsar menurut bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu.
·         Secara struktur yang terkandung dalam hadis ada tiga komponen, yaitu sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharij (rawi).
·         Hadis dilihat dari sandarannya ada dua yang pertama disandarkan kepada Nabi sendiri disebut Hadis Nabawi, kedua disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Pada umumnya kebanyakan yang mengira nama qudsi itu sendiri diartikan suci, namun tidak semua Hadis Qudsi itu shahih.
·         Hadis Qudsi dengan hadis nabawi pada daarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT.
·         Perbedaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi dapat diilihat dari segi penisbatan, yaitu hadis nabawi dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. dan diriwayatkan dari beliau sehingga sehingga dinamakan hadis nabawi. Adapun Hadis Qudsi dinisbatkan kepada Allah, kemudian Rasulullah menceritakan dan meriwayatkan dari Allah. Oleh karena itu diikt dengan sebutan Qudsi.
·         Ada beberapa perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, sebagai berikut:
Ø  Al-Qur’an Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya, Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
Ø  Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya sudah mutlak. Hadis-hadis Qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan ada kalanya Hadis Qudsi itu shahih, terkdng hasan, dan da’if
Ø  Al-Qur’an Al-Karim dari Allah, baik lafaz maupun maknanya maka Al-Qur’an adalah wahyu, baik dalam lafal maupun makna. Adapun Hadis Qudsi, maknanya saja tapi bukan dalam lafal.
Ø  Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga diperintahkan untuk dibaca dalam shalat. Adapun Hadis Qudsi tidak diperintahkan untuk membacanya dalam shalat. Membaca Hadis Qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan di dalam hadis mengnai membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf terdapat kebaikan.
·         Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an secara garis besar ada tiga makna fungsi penjelasan (Bayan) hadis terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
1.      Bayan Ta’kid artinya hadis yng penguat tentang apa yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an
2.      Bayan Tafsir atau menmenjelaskan yang mujmal di dalam  Al-Qur’an, maka hadis menjelaskan maksudnya.
3.      Bayan Tasyri’i yaitu menempatakan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
B. Saran dan Kritik
Makalah ini disusun dengan kerja keras, meskipun dengan keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki dan masih dalam proses pembelajaran, tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan khususnya dosen pembimbing, sangat pemakalah harapkan untak kesempurnaan makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbat, Muhammad bin Muhammad Al-Wasitha fi< ‘Ulum wa> Mustholah Al-Hadits.
Al-Alba>ni>, Muhammad Na>sir Al-Di>n. Al-Hadi<s|u Hujjahtu Binafsihi fi> Al-Akoidi wa Al-Ahka>mi.
Al-Khathib, Muhammad. ‘Ajaj ‘Usulul Al-Hadi<ts.
Al-Khomi<si<, Abdurrahman bin Ibra>hi<m. Mu’jam ‘Ulumul Al-Hadi<ts An-Nabawi<
Al-Qhaththan, Manna’. At-Tasyri’ wa Al-Fiqh fi< Al-Islam Tarikhan wa Manhajan.
Al-Qhathan, Manna’ Mabahatsu fi< ‘Ulumul Al-Qur’an.
Al-Qhaththan, Manna’.Maba>hatsu fi< ‘Ulum Al-Hadi<ts.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis . Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis . Bandung: Angkasa, 1994.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Mahmud, Ath-Tahan. Taysir Musthalah Al-Hadi<ts.
Sholahuddin, Agus dan Agus Suyadi. ‘Ulumul Hadis . Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sulaiman, Noor. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: GP Press, 2009.


[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010), h. 1
[2] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Cet. II, Jakarta: GP Press, 2009), h. 1
[3] Mahmud Ath-Tahan, Tai<sir Musthalah Al-Hadi<ts, h.15
[4] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 16-17
[5] Noor Sulaiman, op.cit., h. 5-6
[6] Manna’ Al-Qhaththan, At-Tasyri’ wa Al-Fiqh fi< Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, h. 87-88
[7] Manna’ Al-Qhaththan, Maba>hatsu fi< ‘Ulum Al-Hadtis, h. 24
[8] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 24
[9] Abdul Majid Khon, op.cit., h. 5-6
[10] Ibid, h. 9
[11] Muhammad Na>sir Al-Di>n Al-Alba>ni>, Al-Hadis|u Hujjahtu Binafsihi fi> Al-Akoidi wa Al-Ahka>mi, h. 14
[12] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis  (Cet II, Bandung: Angkasa, 1994)  h. 9
[13] Manna’ Al-Qhaththan, op.cit., h. 25
[14] Abdul Majid Khon, op.cit., h. 10
[15] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbat, Al-Wasitha fi< ‘Ulum wa> Mustholah Al-Hadi<ts , h. 17
[16] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 87
[17] Ibid., h. 89
[18] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, ‘Usulul Al-Hadits, h. 32
[19] Abdurrahman bin Ibra>hi<m Al-Khomi<si<, Mu’jam ‘Ulumul Al-Hadi<ts An-Nabawi<, h. 128
[20] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 90
[21] Syuhudi Ismail, op.cit., h. 19
[22] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1974) h. 192
[23] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 98
[24] Ibid.
[25] Muhammad Na>sir Al-Di>n Al-Alba>ni, op.cit., h. 15
[26] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 98-99
[27] Noor Sulaiman, op.cit., h. 20-21
[28] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, loc.cit.
[29] Abdul Majid Khon, op.cit., h. 11
[30] Ibid., h. 12
[31] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 26-27
[32] Ibid.
[33] Manna’ Al-Qhathan, Mabahatsu fi< ‘Ulumul Al-Qur’an, h. 26
[34] Abdul Majid Khon, op.cit., h. 16
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid., h. 18
[38] Ibid., h. 19

0 komentar:

Posting Komentar

 
ever after Blogger Template by Ipietoon Blogger Template