ini tugas final saya semester I, sekiranya bermanfaat...
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
tradisi Islam, hadis Nabi menduduki posisi kedua dalam hierarki sumber
ajaran-ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagaimana diketahui, adalah
kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan Bahasa Arab.
Posisi dan tugas Nabi dalam konteks ini adalah sebagai penafsir awal atas
ketidakjelasan atau keumuman ayat-ayat Al-Qur’an ini. Penjelasan dan penafsiran
tersebut kemudian disebut dengan Hadis.
Hadis
merupakan salah satu sumber Islam yang bersifat primer, maksudnya ketika
seseorang hendak menetapkan sebuah hukum dalam agama Islam mesti baginya untuk
mempelajari dan mendalami tentang Hadis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian hadis ?
2.
Apa sajakah sinonim hadis ?
3.
Apa sajakah stuktur hadis ?
4.
sebutkan perbedaan
Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Qur’an ?
5.
sebutkan fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits
Hadis
menurut etimologi, berasal dari akar kata :
حدث يحدث
حدوثا وحداثه
Hadis
dari akar kata tesebut memiliki beberapa makna diantarannya:
1.
اَلْجَدِيْدُ (al-jadi<d: baru), lawan kata dari اَلْقَديْمِ (al-qadi<m:
terdahulu), misalnnya: alam baru. Alam maksudnya segala sesuatu selain
Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna ini mempunyai
makna konteks teologis, bahwa segala kalam selain Allah bersifat hadis (baru)
sedangkan Al-Qur’an bersifat qadi<m (terdahulu).[1]
2.
اَلْقَرِيْبُ (al-qari<b:
dekat) atau belum lama terjadi, seperti dalam kalimat:
هُوَ
حَدِ يْثُ الْعَهْدِ بِالا سْلاَم
(dia orang baru/ belum
lama mengenal Islam).[2]
3.
اَلْخَبَرُ (al-khabar: berita) oleh karena itu ungkapan oleh para
perawi yang menyampaikan periwayatan hadis jika bersambung sanadnya selalu
mengungkapkan: حدثنا(memberitakan kepada kami atau mengabarkan kepada kami dan
menceritakan kepada kami).
Dari
segi terminologi ulama hadis mendefinisikan
ماأضيف اِلى النبي صلى الله عليه وسلم
سواء كان قولا أو فعلا أو تقريرا
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik
yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat.[3]
Menurut
istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadis adalah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, selain Al-Qur’an Al-kari<m, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun takrir nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara’.
Adapun
menurut istilah para fuqaha<’, hadi<s adalah segala sesuatu yang
ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu
atau wajib.
Dari
perbedaan pandangan tersebut kemudian melahirkan dua macam pengertian hadis,
yakni dalam artian sempit dan dalam artian luas. Pengertian hadis secara
terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur Al-Muhaddis|in, adalah sesuatu
yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, pernyataan (Taqrir)
dan sebagainnya.
Adapun
pengertian hadis secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfudz
At-Tirmidzi adalah sesungguhnya hadis bukan hanya dimarfu’kan kepada Nabi
Muhammad SAW, melainkan dapat pula disebutkan pada mauquf (dinisbatkan pada
perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan kepada
perkataan dan sebagainya dari tabi’in).[4]
Dari
definisi di atas dapat memberi kesimpulan, bahwa hadis mempunyai beberpa komponen
yakni:
a.
Hadis perkataan
(qawli) adalah sabdanya dalam segala sesuatu yang bersangkutpaut dengan
dengan syara’, mengandung hukum, akhlak, pendidikan dan lain sebagainnya.
Contoh perkataan Nabi yang mengandung hukum:
حدثنا الحميدي
عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني
محمد بن إبراهيم التيممي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب
رضي الله عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إنما
الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى
امرأة ينكحها فهجرته إلى ما جاهر إليه )
رواه البخارى و مسلم
“Dari
Umar bin Khattab RA berkata, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
bahwasanya telah dikatakan amal itu hanya yang disertai dengan niat dan
bahwasanya setiap orang hanya akan memperoleh pahala amalannya sesuai dengan
apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkataan
ini menetapkan suatu hukum bahwa tidak sah segala amal menurut syara’ jika
tidak disertai dengan niat.
b.
Hadis perbuatan
(fi’li) adalah perbuatan yang pernah beliau kerjakan yang mengandung
syara’, adakalanya perbuatannya tersebut merupakan penjelasan praktis terhadap
ketentuan-ketentuan yang belum jelas cara pelaksanaannya. Salah satu contoh
hadis fi’li ialah cara bersembahyang sunnah di atas kendaraan yang
sedang berjalan. Hal ini telah dikerjakan oleh Rasulullah dihadapan para
sahabatnnya. Riwayat yang menceritakan peristiwa tersebut adalah sebagai
berikut:
حدثنا
مسلم قال حدثنا هشام قال حدثنا يحيى بن أبي كثير عن محمد بن عبد الرحمن عن
جابر قال : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي على راحلته توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل
القبلة
“Dari Jabir r.a berkata: bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan
shalat di atas kendaraannya dimana kendaraan itu menghadap, dan apabila beliau
hendak melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraanya dan menghadap
kiblat” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Diantara
perbuatan Nabi ada pula yang tidak disyariatkan untuk mengikutinnya, karena
merupakan suatu pengecualian dan khusus untuk Nabi dan tidak untuk umatnya.
Misalnya, Rasul boleh mengawini wanita yang datang menawarkan dirinya diri
kepadanya tanpa mahar (maskawin).[5]
Dijelaskan dalam Q.S. Al-Ahzab:50
وَامْرَأَةً
مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن
يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِين
Dan
perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min.
c.
Hadis penetapan/
persetujuan (Taqrir) Nabi adalah keadaan beliau yang mendiamkan tidak
mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh para sahabatnya.
Misalnya:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِى
أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
دَخَلْتُ أَنَا وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِىَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ اللاَّتِى فِى
بَيْتِ مَيْمُونَةَ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمَا
يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ. فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَهُ
فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ وَلَكِنَّهُ
لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِى فَأَجِدُنِى أَعَافُهُ » قَالَ
خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ
وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْظُرُ.
“Maafkan, berhubung binatang itu tidak
ada dikampung kaumku, maka aku jijik padanya”, berkata Khalid: “Aku segera
memotongnya lalu memakannya dan Rasulullah melihat kepadaku.” HR. Bukhari dan
Muslim.
d.
Dan ada pula
sebagian ulama yang memasukkan definisi hadis sifat (washfi), karena
banyak sekali riwayat yang menerangkan tentang sifat
dan
tabiat beliau. Dan Ath-Tirmidzi menyusun sebuah buku tentang tabiat (syama’il)
beliau.[6] Diantara contohnya adalah:
Dari Abi Ishaq, dia berkata, “Seorang
laki-laki bertanya kepada Al-Bara’, “Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?”
dia menjawab, “tidak, tapi seperti
rembulan” HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadis Hasan Shahih.”[7]
Sifat
Nabi SAW diceritakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik, sebagai
berikut:
Rasulullah
SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya.
Tentang
keadaan fisik Nabi SAW., telah dijelaskan dalam hadis,
حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء حدثنا إسحاق بن منصور عن إبراهيم بن يوسف عن أبيه عن أبي إسحاق قال سمعت البراء يقول:كان
رسول الله صلى الله عليه و سلم أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا ليس بالطويل الذاهب
ولا بالقصير
“Rasul
SAW. Adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh.
Keadaan
fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek.” (HR. Bukhari).[8]
B.
Sinonim
Hadis
Dalam ilmu
hadis sering juga, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah,
khabar, dan atsar. Berikut ini pemakalah akan membahas pengertian
masing-masing, yaitu sebagai berikut:
1.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa
ialah jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga dapat
diartikan sebagai tradisi yang kontinu dengan kata lain apabila suatu perbuatan
telah biasa dikerjakannya walaupun perbuatan itu tidak baik disebut juga dengan
sunnah. Kedua pengertian tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW:
« مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ
شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ » رواه البخارى و مسلم
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah
(jalan) yang baik, maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala
orang-orang yang mengajarkannya hingga hari kiamat. Dan barang siap yang
mengadakan suatu sunnah (jalan buruk, maka ia berdos atas perbuatannya itu dan
menanggung doa orang-orang yang menakutinya hingga hari kiamat” (HR. Bukhari
dan Muslim).
«
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ » رواه مسلم
“Sungguh kamu akan mengikuti
sunnah-sunnah (perjalanan) orang sebelum kamu, sejengkal dan sejengkal, sehasta
demi sehasta, sehingga sekiranya mereka memasuki sarang biawak, sungguh kamu
memasukinya juga” (HR. Muslim)
Sedangkan
sunnah menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama[9], diantrannya sebagai
berikut:
a.
Menurut ulama
ahli hadis, ada ulama yang mendefinisikan dengan singkat bahwa
أقوال
النبي صللى الله عليه وسلم وأفعاله وأحواله
Segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan dan segala tingkah lakunya.
b.
Menurut Ulama
Ushul Fiqih
Segala sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi SAW baik yang bukan Al-Qur’an baik berupa segala
perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil dan hukum syara’
Sunnah menurut ulama Ushul Fiqih hanya perbuatan
yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu perbuatan tidak dijadikan
dalam dasar hukum seperti makan, minum, tidur, berjalan, meludah, menelan ludah,
buang air, dan lain-lain maka kebiasaan sehari-hari seperti itu tidak dinamakan
sunnah.
c.
Menurut Ulama
Fiqih
Sesuatu ketetapan yang
datang dari Rasulullah SAW dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka
menurut mereka adalah sifat yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak
disiksa bagi yang meninggalkannya.
Menurut ulama Fiqih,
sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya
tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengajarkannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain
sebagainya.
Dari
perbedaan para ulama dalam mendefinisikan sunnah lebih disebabkan karena
perbedaan disiplin ilmu yang mereka miliki atau yang mereka kuasai dan ini
menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia yang dibatasi pada bidang-bidang
tertentu. Ulama hadis melihat nabi sebagai figur keteladanan yang baik (uswatun
hasanah), maka semua yang datang dari nabi adalah sunnah. Ulama ushul fiqih
melihat pribadi nabi sebagai pembuat syari’at, penjelas kaidah-kaidah kehidupan masyarakat, dan
pembuat dasar-dasar ijtihad. Ahli fiqih memandang segala perilaku nabi
mengandung hukum lima, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh.[10]
2.
Khabar
Menurut bahasa
khabar berarti berita. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat yaitu:
·
Pendapat yang
membedakan pengertian khabar dengan hadis menganggap bahwa kebanyakan ulama
mengkhususkan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari nabi, sedangkan khabar
sesuatu yang berasal dari selainnya. Maksudnya tiap-tiap hadis termasuk khabar,
tapi tidak setiap khabar adalah hadis. Oleh karena itu dikatakan, orang yang
tekun (menyibukkan diri) pada hadis disebut dengan Muhaddits, sedangkan
orang yang tekun pada sejarah atau semacamnya disebut dengan Akhbary.[11]
·
Sebagian ulama menyatakan
bahwa khabar itu sinonim dengan hadis. Oleh karena itu mereka menyatakan, bahwa
khabar adalah apa yang datang dari nabi, baik yang marfu’ (yang
disandarkan kepada nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat),
maupun yang maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in). Dengan kata lain,
bahwa khabar itu mencakup apa yang datang dari nabi, sahabat dan tabi’in.[12]
3.
Atsar
Menurut bahasa,
atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu menurut kebanyakan ulama, menurut
istilah ada pendapat
·
Namun menurut
sebagian ulama lainnya atsar cakupannya lebih umum dibanding dengan khabar.
ما
جاء عن غير صلى الله علليه وسلم من اصحابة أو من دونهم
Sesuatu yang datang dari selain Nabi
SAW dan dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.[14]
Menurut Ibnu hajar
atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mawquf) dan
tabi’in (maqthu’).[15] Berikut rangkuman
perbedaan antara hadis, sunnah, khabar dan atsar.
Hadis dan
sinonimnya
|
Sandaran
|
Aspek dan
spesifikasi
|
Sifatnya
|
Hadis
|
Nabi
|
Qawli, fi’li,
Taqriri
|
Lebih khusus
dan sekalipun dilakukan sekali
|
Sunnah
|
Nabi dan para
sahabat
|
fi’li
|
Menjadi
tradisi
|
Khabar
|
Nabi dan
selainnya
|
Qawli, fi’li
|
Lebih umum
|
Atsar
|
Sahabat dan
tabi
|
Qawli, fi’li
|
Umum
|
C.
Struktur
Hadis
1.
Komponen-komponen
Hadis
Secara struktur
yang terkandung dalam hadis ada tiga komponen, yaitu sanad atau isnad
(rantai penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharij (rawi).
Berikut adalah contoh yang memuat ketiga unsur tersebut
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد
الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه و سلم
قال ( ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما
وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في
النار ) رواه البخارى
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad
Al-Mutsiny, katanya “telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy,
katanya, telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilablah dari Anas dari Nabi
SAW, bahwa beliau bersabda, “Ada tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri
seseorang, orang itu akan merasaka manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya
lebih ia cintai daripada selain kedunya. Hendaknya ia mencintai orang (lain)
hanya karena Allah. Dan hendaknya ia membenci kembali kepada kekafiran
sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan kedalam neraka.” (HR. Bukhari)[16]
Dari hadis
tersebut kita lihat bahwa hadis tersebut terdiri dari tiga kompponen yang
pertama sanad,
حدثنا
محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس
عن النبي صلى الله عليه و سلم
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad
Al-Mutsiny, katanya “Telah meriwayatkan kepada kami Abdul Wahab Al-Tsaqafiy,
katanya, telah meriwayatkan kepada kami Ayyub dari Qilablah dari Anas dari Nabi
SAW”
Kedua,
adalah matan
(
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن
يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار )
“Ada
tiga hal, yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, orang itu akan merasaka
manisnya iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain
kedunya. Hendaknya ia mencintai orang (lain) hanya karena Allah. Dan hendaknya
ia membenci kembali kepada kekafiran sebagaimana kebenciannya bila dilemparkan
kedalam neraka.”
Selanjutnya
disamping kedua komponen tersebut, dalam hadis juga ada komponen tambahan yang
menyebutkan sumber hadis itu yang disebut dengan mukharij (rawi)
رواه
البخارى
Riwayat
Bukhari
Maksudnya hadis
tersebut dikeluarkan oleh Bukhari sehingga bisa dilacak hadis tersebut dalam
Shahih Bukhari.[17]
2.
Sanad
Sanad menurut
bahasa ialah ....ماارتقع من الأرض, yaitu bagian bumi yang menonjol, sesuatu yang berada di
hadapan jauh dari kaki bukit ketika memandangnya. Bentuk jamaknya adalah أسناد. Segala sesuatu yang disandarkan kepada yang lain disebut مسند. Dikatakan أسند في الجبل, maknanya seorang mendaki gunung. Dikatakan pula فلان
سند, maknanya
seseorang menjadi tumpuan.[18] Bisa dikatakan pula
sebagai utusan atau wakil (yang dapat dipercaya).
Menurut istilah
adalah silsilah periwayatan (mata rantai) hadis menuju matan hadis.[19] Maksudnya adalah susunan
atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadis tersebut, mulai orang
yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasulullah.[20]
Dalam hal ini
dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut sampai melalui periwayatan para Mukharrij.
Contohnya urutan Mukharrij mulai dari
1.
Muhammad
Al-Mutsiny, sanad pertama (awwal al-sanad)
2.
Abdul Wahab
Al-Tsaqafiy, sanad kedua
3.
Ayyub, sanad
ketiga
4.
Qilablah, sanad
keempat
5.
Anas,
sanad kelima atau akhir al-sanad
Karena
ada istilah awwal al-sanad dan akhir
al-sanad, maka ada juga yang disebut awsath al-sanad, atau
pertengahan sanad. Dari contoh diatas, yang menjadi awsath al-sanad keseluruhan
sanad yang berada antara awwal al-sanad dan akhir al-sanad yaitu Abdul
Wahab Al-Tsaqafiy, Ayyub, Qilabah.
Jumlah
sanad dalam hadis tidak mesti hanya berjumlah lima saja seperti contoh diatas,
tetapi ada pula yang kurang atau lebih. Dalam hubunganya dengan isitilah sanad,
dikenal juga dengan istilah-istilah seperti musnid, musnad, dan isnad.
Yang
dimaksud dengan musnid adalah orang yang menerangkan hadis dengan
menyebutkan sanadnya. Yang dimaksud dengan musnad adalah hadis yang
disebut dan diterangkan seluruh sanadnya yang sampai kepada Nabi SAW.
Pengertian lain tentang musnad ialah kitab-kitab hadis yang didalamnya
dikoleksikan oleh penyusunannya, kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat misalnya Abu Hurairah saja dalam bab tertentu, kemudian yang
diriwayatkan oleh sahabat yang lain dalam bab lainnya secara khusus.
Adapun
yang dimaksud dengan isnad ialah menerangkan suatu penjelasan sanad
hadis (jalan datangnya hadis). Istilah shighat al-isnad yang berarti
lafadz-lafaz yang ada dalam sanad yang digunakan oleh para rawi pada saat
menyampaikan hadis atau riwayat.[21] Berikut delapan tingkatan
Shigat al-isnad tersebut
Tingkatan
|
Shighat
al-isnad
|
||||||||
I
|
سمعت
Saya
telah mendengar
|
سمعنا
Kami
telah mendengar
|
حدثني
Ia
telah menceritakan padaku
|
حدثنا
Ia
telah menceritakan pada kami
|
قال لي
Ia
telah berkata padaku
|
قال لنا
Ia
telah berkata kepadakami
|
ذكر لي
Ia
telah menyebutkan kepadaku
|
ذكرلنا
Ia
telah menyebutkan kepada kami
|
|
II
|
أخبرني
Ia
telah mengabarkan kepada ku
|
قرأت عليه
Saya
telah membaca padanya
|
|||||||
III
|
أخبرنا
Ia
telah mengabarkan kepada kami
|
قرئ عليه وأناأسمح
Baca
kepadanya sedang saya mendengarnya
|
قرأنا عليه
Kami
telah membaca kepadanya
|
||||||
IV
|
انبأنى
Ia
telah memberi tahu kepadaku
|
نبأنى
Ia
telah memberi tahu kepada ku
|
انبأنا
Ia
telah memberitahu kepada kami
|
نبأنا
Ia
telah memberi tahu kepada kami
|
|||||
V
|
ناولى
Ia telah
menyerahkan kepadaku
|
||||||||
VI
|
شافهنى
Ia
telah mengucapkan kepadaku
|
||||||||
VII
|
كتب اٍلى
Ia telah
menuliskan kepadaku
|
||||||||
VIII
|
عن
Dari, daripada
|
أن,اٍن
Sesungguhnya,
bahwasanya
|
وجلت فى كتابى عن
Saya
temukan dala kitab saya
|
روى
Ia
telah meriwayatkan
|
قال
Ia
telah berkata
|
وكر
Ia
telah menyebut
|
بلغو
Telah
sampai kepadaku
|
وجدت بخط فلان
Saya
telh memperoleh dengan tulisan si fulan
|
|
3. Matan
Menurut
bahasa, matan berarti punggung jalan (muka jalan); tanah yang keras dan tinggi.
Matan kitab adalah bersifat kontemporer dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. [22] Bentuk jamaknya adalah mutun
dan mitan.[23]
Adapun yang
dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah perkataan yang disebut pada akhir
sanad, yakni sabda Rasulullah SAW yang disebut sesudah habis disebutkan
sanadnya.[24] Dengan kata lain,
matan adalah redaksi dari hadis. Bisa dikatakan pula lafaz hadis yang
mengandung makna. Para ulama mencegah attau melarang menerima hadis yang tidak
jelas sanadnya karena takut adanya kebohongan.[25] Terkait dengan matan
redaksi yang perlu dicermati dalam memahami hadis adalah:
1.
Ujung sanad
sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
2.
Matan hadis itu
sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain lebih kuat sanadnya (apakah ada
yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat Al-Qur’an (apakah
ada yang bertolak belakang).[26]
4. Rawi
Kata
rawi atau Ar-Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan atau
menuliskan hadis dalam suatu kitab apa yang pernah didegar atau diterima dari
seorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwat. Perbuatan yang
menyampaikan hadis tersebut dinamakan meriwayatkan hadis.[27] Orang yang membukukan
atau menghimpun hadis dalam suatu kitab tadwin selain rawi dapat
disebut juga mudawwin.[28] Contohnya hadis yang
ditemukan dalam kitab hadis disusun oleh Imam Bukhari yang dikenal sebagai
صحيح البخاري
D.
Perbedaan Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Qur’an
Hadis dilihat dari sandarannya ada dua yang
pertama disandarkan kepada Nabi sendiri disebut Hadis Nabawi, kedua disandarkan
kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Pada umumnya kebanyakan yang mengira
nama qudsi itu sendiri diartikan suci, namun tidak semua Hadis Qudsi itu
shahih. Berikut penelusuran maknanya.
1. Hadis Qudsi
Hadis
Qudsi secara bahasa berasal dari kata qudasa, yaqdusu, qudsan artinnya
suci atau bersih. Jadi secara bahasa Hadis Qudsi secara bahasa ialah hadis
bersih atau suci. karena ia bersumber dari Allah yang maha suci dan dinamakan
hadis karena nabi yang memberitakannya disandarkan dari wahyu Allah SAW.
Sekalipun diartikan suci namun itu merupakan sifat bagi hadis, sandaran hadis
kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadis. Oleh karena itu, tidak semua
Hadis Qudsi itu shahih tapi ada yang hasan dan dha’if tergantung persyaratan
periwayatan yang terpenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.[29]
Secara
istilah banyak definisi degan redaksi yang berbeda-beda. Akan tetapi dari semua
definisi tersebut, pemakalah dapat menarik kesimpulan bahwa Hadis Qudsi ialah
sesuatu yang diberitakan Allah SAW. kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi,
kemudian Nabi SAW. menyampaikan berita itu dengan ungkapan-ngkapan sendiri. Contoh
Hadis Qudsi ialah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ :
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ
خَصَمْتُهُ : رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ
ثَمَنَهُ ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوَفِّهِ
أَجْرَهُ.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi
SAW. Bersabda, “Allah SAW. berfirman, ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh
mereka kelak di hari kiamat. Siapa yang Aku menjadi musuhnya, maka Aku akan
menjadi musuhnya. Seseorang yang memberikan (janji) kepada Ku lalu mengingkari.
Seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualnnya. Dan
seseorang yang memperkerjakan kariawan, lalu kariawan itu memenuhi tugasnya, tetapi orang itu tidak memenuhi upahnya.”
Jumlah Hadis Qudsi tidak terlalu
besar hanya sekitar 400 buah hdis secara terulang-ulang sanad atau sekitar 100
buah hadis lebih (ghayr mukarrar), ia tersebar dalam 7 kitab induk
hadis. Mayoritas kandungan Hadis Qudsi tentang akhlak, aqidah, dan syariah.
Diantara kitab Hadis Qudsi, Al-Hadits Al-Qudsiyah, yang tditerbitkan
oleh Jumhur Mesir Al-Arabiyah, Wuzarah Al-Awqaf Al-Majalis Al-A’la li Syu’un
Al-Islamiyyah Lajnah As-Sunnah, Cairo 1988 dan lain-lain.[30]
2.
Persamaan Hadis
Nabawi dengan Hadis Qudsi
Hadis Qudsi dengna hadis nabawi pada dasarnya mempunyai persamaan,
yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT
dalam firmannya
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.
(kepadanya). (QS. An-Najm: 3-4)
Rasulullah
SAW. juga bersabda,
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيِّ ، قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ
الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
Dari Miqdam nim
Ma’di Kariba, dari Rasulullah SAW., beliau bersabda, ingatlah sesungguhnya aku
diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan semisalnya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).[31]
3.
Perbedaan
Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi
Perbedaan
antara hadis nabawi dan Hadis Qudsi dapat diilihat dari segi penisbatan, yaitu
hadis nabawi dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. dan diriwayatkan dari beliau
sehingga sehingga dinamakan hadis nabawi. Adapun Hadis Qudsi dinisbatkan kepada
Allah, kemudian Rasulullah menceritakan dan meriwayatkan dari Allah. Oleh
karena itu diikt dengan sebutan Qudsi.[32]
4.
Perbedaan
Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an
Ada
beberapa perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, sebagai berikut:
Ø Al-Qur’an
Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya,
dengan itu pula orang Arab ditantang untuk membuat yang semisal dengan itu
tetapi mereka tidak mampu sedangkan Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak
pula untuk mukjizat.
Ø Seluruh
isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya sudah
mutlak. Hadis-hadis Qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad sehingga
kepastiannya masih merupakan dugaan ada kalanya Hadis Qudsi itu shahih, terkdng
hasan, dan da’if
Ø Al-Qur’an
Al-Karim dari Allah, baik lafaz maupun maknanya maka Al-Qur’an adalah wahyu,
baik dalam lafal maupun makna. Adapun Hadis Qudsi, maknanya saja tapi bukan
dalam lafal. Oleh sebab itu sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan
meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.
Ø Membaca
Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga diperintahkan untuk dibaca dalam shalat.
Adapun Hadis Qudsi tidak diperintahkan untuk membacanya dalam shalat. Membaca Hadis
Qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan di dalam hadis
mengnai membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf terdapat kebaikan.[33]
E. Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
secara umum adalah unutk menjelaskan makna kandungan Al-Qur’an yang ssangat
dalam dan global atau li al-Bayan (menjelaskan) sebagaimana firman Allah
SWT. dalam Surah An-Nahl: 44[34]
وَأَنزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ ﴿٤٤﴾
Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Hanya penjelasan itu kemudian oleh
para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada tiga
makna fungsi penjelasan (Bayan) hadis terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:[35]
1.
Bayan
Ta’kid
Posisi hadis
sebagai penguat atau memperkuat
keterangan Al-Qur’an (Ta’qid). Sebagian ulama menyebut Bayan Ta’qid atau
Bayan Taqrir artinya hadis yang penguat tentang apa yang sudah dijelaskan
di dalam Al-Qur’an, misalnya hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji. [36]
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله
وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان )
Dari Ibn Umar
ra. Berkata: Rasulullah SAW bersabda: Islam didirikan atas lima lima perkara:
menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan. (HR.
Al-Bukhari).
2.
Bayan
Tafsir
Hadis sebagai pejelas
(Tafsir) atau menafsirkan yang mujmal di dalam Al-Qur’an, maka hadis menjelaskan maksudnya. Seperti
dalam Surah Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ
اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٣٨﴾
Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
Pemotongan
tangan pencuri dalam ayat tersebut secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan
batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, siku, dan pergelangan
tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadis ketika ada
seseorang pencuri yang datang ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan
pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangannya.[37]
3. Bayan Tasyri’i
Yaitu
menempatakan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dalam hadis
terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an, ia bukan
penjelas (Tafsir) dan bukan
penguat (Ta’qid). Tetapi sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil
atau ia menjelaskan yang tersirat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Misalkan
keharaman makan daging keledai ternak, keharaman setiap daging yang berbelalai,
dan keharaman menikahi seorang wanita bersama bibi dan paman wanitanya. Hadis
Tasyi’ri diterima oleh para ulama karena kapasitas hadis juga sebagai wahyu
dari Allah SWT. yang menyatu dengna Al-Qur’an, hakikatnya ia juga merupakan
penjelasan yang implisit dalam Al-Qur’an.[38]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Hadis menurut
etimologi, berasal dari akar kata :
1.
اَلْجَدِيْدُ (al-jiddah: baru), lawan kata dari اَلْقَديْمِ (al-qadi<m:
terdahulu), bahwa segala kalam selain Allah bersifat hadis (baru) sedangkan Al-Qur’an
bersifat qadim (terdahulu).
2.
اَلْقَرِيْبُ (al-qarib: dekat) atau belum lama terjadi.
3.
اَلْخَبَرُ (al-khabar: berita) oleh karena itu ungkapan oleh para
perawi yang menyampaikan periwayatan hadis jika bersambung sanadnya selalu
mengungkapkan: حدثنا(memberitakan kepada kami atau mengabarkan kepada kami dan
menceritakan kepada kami).
Dari
segi terminologi ulama hadis mendefinisikan Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw, baik yang berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun
sifat.
Dari
definisi di atas dapat memberi kesimpulan, bahwa hadis mempunyai beberpa
komponen yakni:
a.
Hadis perkataan
(qawli) adalah sabdanya dalam segala sesuatu yang bersangkut paut dengan
dengan syara’.
b.
Hadis perbuatan
(fi’li) adalah perbuatan yang pernah beliau kerjakan yang mengandung
syara’.
c.
Hadis
penetapan/ persetujuan (Taqrir) Nabi adalah keadaan beliau yang
mendiamkan tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui yang telah dilakukan oleh
para sahabatnya.
d.
Dan ada pula
sebagian ulama yang memasukkan definisi hadis sifat (washfi).
·
Dalam ilmu hadis
sering juga, istilah hadis sering disebut juga dengan istilah sunnah,
khabar, dan atsar.
1.
Sunnah
menurut
bahasa ialah jalan yang dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga dapat
diartikan sebagai tradisi yang kontinu
2.
Khabar
menurut
bahasa khabar berarti berita.
3.
Atsar
menurut bahasa, atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu.
·
Secara struktur
yang terkandung dalam hadis ada tiga komponen, yaitu sanad atau isnad
(rantai penutur), matan (redaksi hadis), dan mukharij (rawi).
·
Hadis dilihat
dari sandarannya ada dua yang pertama disandarkan kepada Nabi sendiri disebut
Hadis Nabawi, kedua disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Pada
umumnya kebanyakan yang mengira nama qudsi itu sendiri diartikan suci, namun
tidak semua Hadis Qudsi itu shahih.
·
Hadis Qudsi dengan hadis nabawi pada
daarnya mempunyai persamaan, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT.
·
Perbedaan Hadis
Nabawi dengan Hadis Qudsi dapat diilihat dari segi penisbatan, yaitu hadis
nabawi dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. dan diriwayatkan dari beliau sehingga
sehingga dinamakan hadis nabawi. Adapun Hadis Qudsi dinisbatkan kepada Allah,
kemudian Rasulullah menceritakan dan meriwayatkan dari Allah. Oleh karena itu
diikt dengan sebutan Qudsi.
·
Ada beberapa
perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an, sebagai berikut:
Ø Al-Qur’an
Al-Karim adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya,
Hadis Qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
Ø Seluruh
isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya sudah
mutlak. Hadis-hadis Qudsi kebanyakannya adalah khabar ahad sehingga
kepastiannya masih merupakan dugaan ada kalanya Hadis Qudsi itu shahih, terkdng
hasan, dan da’if
Ø Al-Qur’an
Al-Karim dari Allah, baik lafaz maupun maknanya maka Al-Qur’an adalah wahyu,
baik dalam lafal maupun makna. Adapun Hadis Qudsi, maknanya saja tapi bukan
dalam lafal.
Ø Membaca
Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga diperintahkan untuk dibaca dalam shalat.
Adapun Hadis Qudsi tidak diperintahkan untuk membacanya dalam shalat. Membaca
Hadis Qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan di dalam hadis
mengnai membaca Al-Qur’an bahwa setiap huruf terdapat kebaikan.
·
Fungsi Hadis
Terhadap Al-Qur’an secara garis besar ada tiga makna fungsi penjelasan (Bayan)
hadis terhadap Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
1.
Bayan Ta’kid artinya
hadis yng penguat tentang apa yang sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an
2. Bayan Tafsir atau
menmenjelaskan yang mujmal di dalam
Al-Qur’an, maka hadis menjelaskan maksudnya.
3.
Bayan Tasyri’i
yaitu menempatakan suatu hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
B.
Saran
dan Kritik
Makalah
ini disusun dengan kerja keras, meskipun dengan keterbatasan ilmu yang
pemakalah miliki dan masih dalam proses pembelajaran, tentunya masih banyak
kekurangan di dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan
khususnya dosen pembimbing, sangat pemakalah harapkan untak kesempurnaan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Syahbat, Muhammad bin Muhammad Al-Wasitha
fi< ‘Ulum wa> Mustholah Al-Hadits.
Al-Alba>ni>, Muhammad Na>sir Al-Di>n. Al-Hadi<s|u
Hujjahtu Binafsihi fi> Al-Akoidi wa Al-Ahka>mi.
Al-Khathib, Muhammad.
‘Ajaj ‘Usulul Al-Hadi<ts.
Al-Khomi<si<, Abdurrahman
bin Ibra>hi<m. Mu’jam ‘Ulumul Al-Hadi<ts An-Nabawi<
Al-Qhaththan, Manna’. At-Tasyri’
wa Al-Fiqh fi< Al-Islam Tarikhan wa Manhajan.
Al-Qhathan, Manna’ Mabahatsu
fi< ‘Ulumul Al-Qur’an.
Al-Qhaththan, Manna’.Maba>hatsu
fi< ‘Ulum Al-Hadi<ts.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis . Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Ismail, Syuhudi. Pengantar
Ilmu Hadis . Bandung: Angkasa, 1994.
Khon, Abdul Majid. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.
Mahmud, Ath-Tahan. Taysir
Musthalah Al-Hadi<ts.
Sholahuddin, Agus dan Agus Suyadi. ‘Ulumul Hadis
. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sulaiman, Noor. Antologi
Ilmu Hadis. Jakarta: GP Press, 2009.
[1] Abdul Majid Khon, Ulumul
Hadis (Cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010), h. 1
[2] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu
Hadis (Cet. II, Jakarta: GP Press, 2009), h. 1
[3] Mahmud Ath-Tahan, Tai<sir
Musthalah Al-Hadi<ts, h.15
[4] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 16-17
[5] Noor Sulaiman, op.cit., h.
5-6
[6] Manna’ Al-Qhaththan, At-Tasyri’
wa Al-Fiqh fi< Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, h. 87-88
[7] Manna’ Al-Qhaththan, Maba>hatsu
fi< ‘Ulum Al-Hadtis, h. 24
[8] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit., h. 24
[9] Abdul Majid Khon, op.cit., h.
5-6
[10] Ibid, h. 9
[11] Muhammad Na>sir Al-Di>n
Al-Alba>ni>, Al-Hadis|u Hujjahtu Binafsihi fi> Al-Akoidi wa
Al-Ahka>mi, h. 14
[12] Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis (Cet II, Bandung:
Angkasa, 1994) h. 9
[13] Manna’ Al-Qhaththan, op.cit.,
h. 25
[14] Abdul Majid Khon, op.cit., h.
10
[15] Muhammad bin Muhammad Abu
Syahbat, Al-Wasitha fi< ‘Ulum wa> Mustholah Al-Hadi<ts , h. 17
[16] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit., h. 87
[17] Ibid., h. 89
[18] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, ‘Usulul
Al-Hadits, h. 32
[19] Abdurrahman bin Ibra>hi<m
Al-Khomi<si<, Mu’jam ‘Ulumul Al-Hadi<ts An-Nabawi<, h. 128
[20] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit., h. 90
[21] Syuhudi Ismail, op.cit., h.
19
[22] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1974) h. 192
[23] Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi,
op.cit., h. 98
[24] Ibid.
[25] Muhammad Na>sir Al-Di>n
Al-Alba>ni, op.cit., h. 15
[26] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit., h. 98-99
[27] Noor Sulaiman, op.cit., h.
20-21
[28] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, loc.cit.
[29] Abdul Majid Khon, op.cit., h.
11
[30] Ibid., h. 12
[31] Agus Sholahuddin dan Agus
Suyadi, op.cit., h. 26-27
[32] Ibid.
[33] Manna’ Al-Qhathan, Mabahatsu
fi< ‘Ulumul Al-Qur’an, h. 26
[34] Abdul Majid Khon, op.cit., h.
16
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid., h. 18
[38] Ibid., h. 19
0 komentar:
Posting Komentar