in the name of Allah the most gracious the most mercyful

Rabu, 12 Desember 2012

SIGNIFIKANSI JARH{ WA AT-TA’DIL


Tugas Individu

 SIGNIFIKANSI JARH{ WA AT-TA’DIL


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ilmu Rijal al-Hadits

Dosen / Pembimbing :
Drs. H. Muhammad Ali Ngampo, M.Ag

Oleh:

Nurul Fadhilah Faisal
Semester III


JURUSAN ILMU HADIS KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2012/2013 M



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kenyataannya bahwa para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharrij al-hadis sudah tidak dapat dijumpai lagi secara fisik karena mereka telah wafat. Sementara para sahabat adalah para saksi sejarah yang bisa menyaksikan serta mewartakan apa yang telah mereka rekam selama bergaul dan bersahabat dengan Nabi. Kondisi tersebut menyebabkan rasa ingin tahu untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis.
Diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (para periwayat) hadis. Kritik tersebut dilakukan mengingat kedudukan hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Cukup banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad sebagai utusan Allah swt., adalah sebagai berikut:

قُلْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ﴿٣٢﴾
Terjemahan :
Katakanlah: "Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً ﴿٢١﴾
Terjemahan :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Secara umum ayat-ayat di atas menganjurkan patuh pada perintah Nabi dan berpegang teguh pada teladan yang ditunjukkan melalui praktik dan perilaku-perilaku Nabi.[1] Anjuran, larangan, serta teladan hidup dari Nabi yang termuat dalam sunnah atau hadis beliau adalah sumber ajaran Islam. Dengan meyakini bahwa hadis Nabi merupakan bagian dari sumber ajaran Islam, maka penelitian hadis khususnya sangat penting. Penelitian dilakukan upaya menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, pemakalah dapat merumusan masalah yang kemudian akan di kembangkan lagi dalam bab pembahasan, di antaranya ialah :
1.      Signifikansi Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l.
2.      Al-jarh{ wa al-ta‘di>l bagian dari gibah; argumen penolakan
3.      Argumen pendukung ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Signifikansi Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l.
Kritik ekstern[2] atau penelitian sanad dalam kajian hadis Nabi saw. merupakan kegiatan yang sangat urgen dalam rangka penentuan status kehujjahan Hadis Nabi saw. Sanad yang secara terminologi berarti rangkaian periwayat yang menyampaikan matan hadis[3], dengan sendirinya menjadi objek yang signifikansinya tidak lagi diperselisihkan. Maka tidak mengherankan jika seorang ‘Abdullah ibn al-Muba>rak (W. 181 H/797 M) menyatakan bahwa “sanad hadis merupakan bagian dari agama, yang sekiranya sanad tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya.[4] Bahkan dalam ungkapan lain —meski secara implisit Muhammad Ibn Sirin (W 110 H/728 M) menyatakan bahwa “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”.[5]
Sanad hadis—sebagaimana disebutkan—terdiri dari rangkaian nama-nama periwayat yang berawal dari sahabat sampai ke mukharrij. Rangkaian periwayat tersebutlah yang kemudian dalam proses penelitian yang menjadi objeknya. Jika ke-s}ah}i>h-}an sebuah hadis menjadikan ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an[6] semua individu yang terangkum dalam sanad hadis tersebut sebagai standarnya[7], maka penelitian sanad hadis berarti penelitian terhadap masing-masing periwayat yang bersangkutan dalam hal terpenuhinya kriteria ke-‘adil-an[8] (kualitas pribadi) ke-d}abit}-an[9] (kapasitas intelektual) yang telah digariskan ulama, yang seringkali kedua istilah ini dirampingkan ke dalam satu istilah yaitu s\iqah[10].
Kriteria-kriteria ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an yang telah dijelaskan ulama, selanjutnya menjadi acuan dalam menentukan diterimanya riwayat setiap periwayat yang terdapat dalam rangkaian sanad sebuah hadis. Namun, kriteria-kriteria tersebut tidaklah mudah untuk diterapkan dalam menentukan ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an seorang periwayat. Oleh karena itu, ulama hadis mengemukakan cara penetapan ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an periwayat, yang salah satunya adalah berdasarkan penerapan kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l[11] informasi dan kesaksian ulama kritikus dan sejarawan[12].
Berdasarkan pada cara menentukan diterima atau tidaknya riwayat seorang periwayat yang dikemukakan ulama, bahwa dibutuhkan metode yang kemudian disebut kaidah al-jarh} wa al-ta‘di>l, setidaknya memberikan indikasi akan signifikansi kaidah ini dalam kerangka penelitian hadis. Namun, meski signifikansi ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l ini telah diakui dan dikukuhkan oleh banyak ulama[13], namun di sisi lain ternyata ada sebagian pihak yang justru berpandangan sebaliknya, bahwa ilmu ini tidak lebih bermanfaat daripada mudharatnya karena merupakan bagian dari gibah yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

B.    al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l Bagian dari Gibah; Argumen Penolakan
Tak dapat dipungkiri bahwa selain kalangan yang mengakui signifikansi ilmu ini, ada pula kalangan tertentu yang berpandangan berseberangan. Pandangan tersebut pada umumnya sangat terkait dengan sebuah dalil dari al-Qur’an yang dengan jelas melarang gibah. Mereka berdasar pada beberapa nash, misalnya dalam ayat al-Qur’an menyatakan  
"ولا يغتب بعضكم بعضا"[14]
Atau dengan hadis Nabi saw. sendiri, misalnya
كل المسلم على المسلم حرام, دمه وماله وعرضه"[15]
dan riwayat lain
قال رسول الله: "أتدرون ما الغيبة"؟ قالوا الله ةرسوله أعلم, قال " ذكرك أخاك بما يكره قيل", قالوا أفرأيت إن كان فيه ما أقول؟ قال " غن كان فيه ما أقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه فقد بهته".[16]
Mereka melihat bahwa kritik terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.
Namun, pendapat tersebut dibantah oleh jumhur ulama. Bahkan dikatakan bahwa hal ini bukanlah gibah, melainkan salah satu kewajiban syariat, dengan alasan kebutuhan yang sangat urgen, yaitu untuk membedakan riwayat-riwayat yang kuat dari yang lemah dan atau palsu.
Dan riwayat-riwayat tersebut bergantung pada sejauh mana ke-‘adil-an dan ke-d}abit}-an para periwayatnya.[17] Bahkan argumen bahwa ilmu ini merupakan gi>bah dibantah dengan dalil yang menyatakan bahwa ilmu ini tergolong gibah yang dibolehkan, misalnya dengan hadis:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا رَآهُ قَالَ « بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ ، وَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ » . فَلَمَّا جَلَسَ تَطَلَّقَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى وَجْهِهِ وَانْبَسَطَ إِلَيْهِ ، فَلَمَّا انْطَلَقَ الرَّجُلُ قَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حِينَ رَأَيْتَ الرَّجُلَ قُلْتَ لَهُ كَذَا وَكَذَا ، ثُمَّ تَطَلَّقْتَ فِى وَجْهِهِ وَانْبَسَطْتَ إِلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِى فَحَّاشًا ، إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ.[18]
Artinya:
Bahwa seorang laki-laki meminta izin kepada nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau melihat orang tersebut, beliau bersabda: "Amat buruklah saudara Kabilah ini atau seburuk-buruk saudara Kabilah ini." Saat orang itu duduk, beliau menampakkan wajahnya yang berseri-seri, setelah orang itu keluar 'A`isyah berkata; "Wahai Rasulullah, ketika anda melihat (kedatangan) orang tersebut, anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu wajah anda nampak berseri-seri, Maka Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wahai 'A`isyah, kapankah kamu melihatku mengatakan perkataan keji? Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut akan kekejiannya."

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi saw. menghadapi orang tersebut dengan raut wajah mencela, dengan alasan syar‘i>, baginda Rasul seakan memberi peringatan akan kejelekan moral orang tersebut untuk dihindari mendengar riwayatnya. Inilah yang dikehendaki dari ungkapan :
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
Riwayat ini juga diperkuat oleh riwayat lain, yaitu:
عن فاطمة بنت قيس أن أبا عمرو بن حفص طلقها البتة ....... فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم أما أبو فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ.[19]
Artinya:
Dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga......... lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."

Dalam hadis ini, terlihat bahwa Rasulullah menceritakan kekurangan dan kelebihan dari dua sahabat yang berbeda. Rasulullah menyampaikan kepada Fa>t}imah binti Qais tentang kekurangan Mu‘a>wiyah dan sebaliknya menyampaikan kelebihan Usa>mah, dan menyarankan Fa>t}imah menikah dengan Usa>mah. Hal ini dilakukan Nabi dengan alasan syar‘i> yang menginginkan Fa>t}imah menikah dengan orang yang tepat dan bukan sama sekali bermaksud untuk mencela sahabat dan memuja yang lain tanpa alasan yang diperkenankan.
Dengan dmikian hal-hal yang tercela dikemukakan bukanlah untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam kaitannya periwayatan hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan hadis.

C.    Argumen Pendukung Ilmu al-Jarh} wa al-Ta‘di>l
Signifikansi ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l oleh jumhur ulama seringkali dikukuhkan dengan berbagai argumentasi. Tidak hanya bersandar pada argumentasi logis, tetapi lebih ditekankan dengan pendekatan argumentasi teologis-normatif bahkan historis.
Argumentasi teologis-normatif yang dimaksudkan adalah berdasarkan pembacaan dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan dukungan dari beberapa hadis Nabi sendiri, dan secara historis adalah berdasarkan pada contoh dari Nabi saw. yang diwariskan sahabatnya dan berlanjut ke generasi tabi‘i>n dan selanjutnya. Argumentasi-argumentasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Argumentasi teologis-normatif
Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menurut ulama menjelaskan dan menunjukkan perintah untuk meneliti kualitas periwayat, dengan demikian menjadi argumen dalam mendukung signifikansi ilmu al-jarh} wa al-ta‘di>l, yaitu:
a.       Dalam surah al-Hujura>t, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.[20]
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat ini menjadi dalil akan kewajiban ber-tabayyun (kroscek) terhadap setiap berita yang datang untuk menghindari berita orang-orang fasik.[21]
b.      Ulama juga berpendapat bahwa Allah memberikan petunjuk dasar untuk men-jarh} dan men-ta‘di>l, misalnya dalam kisah Sulaiman as.:
قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ.[22]
Terjemahnya:
Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.
c.       Secara spesifik, Allah menunjukkan dasar jarh}—tanpa ta‘di>l—kepada orang munafik, sebagaimana digambarkan oleh beberapa ayat:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ.[23]
Terjemahnya:
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ.[24]

Terjemahnya:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
d.      Dan secara spesifik pula, Allah sebaliknya menunjukkan dasar ta‘di>l melalui sebuah ayat:
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ.[25]
Terjemahnya:
(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Di samping ayat-ayat di atas, ulama dalam menegaskan argumen jarh} dan ta‘di>l mengemukakan beberapa riwayat berikut:
a.       Hadis riwayat al-Bukha>ri> dari ‘A<isyah ra. tentang kasus al-ifk:
عن عائشة رضي الله عنها: حين قال لها أهل الإفك ما قالوا قالت ودعا رسول الله صلى الله عليه و سلم علي بن أبي طالب وأسامة بن زيد رضي الله عنهما حين استلبث الوحي يسألهما وهو يستشيرهما في فراق أهله فأما أسامة فأشار بالذي يعلم من براءة أهله وأما علي فقال لم يضيق الله عليك والنساء سواها كثير وسل الجارية تصدقك . فقال ( هل رأيت من شيء يريبك ) . قالت ما رأيت أمرا أكثر من أنها جارية حديثة السن تنام عن عجين أهلها فتأتي الداجن فتأكله....[26]
Artinya:
Bahwa ketika orang-orang yang menyebarkan berita bohong melakukan aksinya, Aisyah berkata, "Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam lantas memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Yazid radliyallahu'anhum, yakni saat wahyu belum turun, beliau menanyai dan meminta saran keduanya perihal perceraian terhadap isterinya. Adapun Usamah bin Zaid, ia memberi saran sejauh yang ia ketahui bahwa Aisyah terlepas diri dari apa yang mereka tuduhkan, adapun Ali bin Abu Thalib berkata, 'Allah tak bakalan menyesakkan dadamu, wanita selainnya juga masih banyak, dan tanyailah pembantu yang bisa jadi ia membenarkanmu.' Nabi bertanya kepada hamba sahaya tadi: "Pernahkah kau lihat sesuatu yang menjadikanmu ragu terhadap diri Aisyah?" hamba sahaya tadi menjawab, "Belum pernah kulihat sesuatu yang kurang pada diri Aisyah selain tak lebih ketika ia masih masih belia, ia ketiduran dari adonan masakan keluarganya sehingga datang ternak yang kemudian menyantapnya.'
Hadis ini menggambarkan dua posisi yang berbeda dari dua sahabat Nabi saw. dalam menanggapi kasus ifk yang menimpa istri Rasulullah saw. Usamah memberikan tanggapan positif (kesaksian ta‘di>l) dan di sisi lain ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib memberikan tanggapan negatif (kesaksian jarh{).
b.      Dari sabda Nabi saw. tentang perintah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah, Nabi bersabda:
....أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.[27]
Ungkapan Nabi saw. :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
dijadikan oleh ulama sebagai dalih bahwa Rasulullah saw. pada dasarnya menganjurkan umatnya untuk mengidentifikasi dengan cermat siapa di antara periwayat hadis yang d}a‘i>f dan yang s\iqah. Karena kemurnian hadis Nabi saw. akan terkontaminasi oleh riwayat dusta jika saja tidak dapat dibedakan antara periwayat yang d}a‘i>f dan yang s\iqah.[28]
c.       yang juga dimaknai sebagai perintah Nabi saw. secara tidak langsung untuk mengetahui s\iqah atau d}a‘i>f-nya seseorang yang menyampaikan riwayat kepada orang sesudahnya, untuk menjamin keabsahan dan akurasi hadis yang disampaikannya.[29]
2.    Argumentasi historis
Argumentasi historis yang dimaksud adalah riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa generasi setelah Nabi saw. sangat berhati-hati dalam menjaga hadis Nabi saw. dalam kaitannya dengan pengamatan dengan cermat kepada pembawa riwayat yang s\iqah dan d}a‘i>f. Sehingga jarh{ dan ta‘di>l terbukti diwarisi oleh generasi sahabat dan generasi-generasi selanjutnya. Berikut ini riwayat-riwayat yang masing-masing mewakili generasi tersebut:
a.         Contoh riwayat terkait sahabat:
فَقَالَ عُمَرُ لأَبِى مُوسَى أَمَا إِنِّى لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ.[30]
Artinya:
Ibnu ‘Umar berkata kepada Abu> Mu>sa> al-Asy‘ari>: sesungguhnya aku tidak bermaksud mencurigaimu, tetapi aku hanya takut orang-orang akan berkata sekehendaknya atas Rasulullah saw.
Hadis ini menunjukkan bahwa seorang Abu> Mu>sa> pun tetap dicermati oleh sahabat lain, dalam rangka memastikan kualitas orang-orang yang meriwayatkan hadis Nabi saw. dan menjaganya dari periwayatan orang-orang tidak bertanggungjawab.
Demikian pula ungkapan yang lebih jelas, ‘Uqbah dalam sebuah riwayat berpesan kepada anaknya:
يَا بنيَّ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ثَلاثٍ فَاحْتَفِظُوا بِهَا: لا تَقْبَلُوا الْحَدِيثَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا مِنْ ثِقَةٍ......[31]
Artinya:
Wahai anakku, aku melarangmu dari tiga hal, maka berhati-berhatilah darinya: Janganlah menerima hadis dari Rasulullah saw. kecuali dari orang s\iqah.
Potongan hadis ini sangat jelas menggambarkan bahwa di kalangan sahabat telah dipraktekkan kehati-hatian dalam menerima riwayat sebelum memastikan ke-s\iqah-an sumber riwayat.
b.      Riwayat terkait tabi‘in:
Di masa ta>bi‘i>n, ilmu ini mengalami banyak perkembangan. Banyak di antara mereka yang berguru kepada sahabat, dan memperluas ijtihad mereka dalam hal ini. Misalnya dalam sebuah riwayat:
أخرج بن منده من طريق يزيد بن أبي مالك قال: كنت عند سعيد بن المسيب فحدثني بحديث، فقلت من أحدثك يا أبا محمد بهذا؟ فقال يا أخا أهل الشام خذ ولا تسأل فإنا لا نأخذ إلا عن الثقات.[32]
Artinya:
Ibn Mandah berkata: aku pernah bersama Sa‘i>d ibn al-Musayyab dan Sa‘i>d menyampaikan kepadaku sebuah hadis, lalu aku bertanya siapa yang menyampaikan hadis ini kepadamu wahai Abu> Muh}ammad? Lalu ia menjawab: wahai saudaraku penduduk Sya>m terimalah dan jangan lagi mempertanyakan dari mana kami mengambilnya, karena kami tidak pernah menerima hadis kecuali dari orang-orang s\iqah.
Demikian pula dalam banyak kasus, ta>bi‘i>n tertentu bahkan melakukan penilaian langsung kepada orang lain, misalnya Qata>dah yang menuduh ‘Uba>dah Abu> Yah}ya> sebagai seorang pendusta.[33] Atau riwayat Ibn Syiha>b al-Zuhri> yang menyatakan bahwa ia hanya mengakui empat ulama hadis paling terpercaya di masing-masing tempat, yaitu Sa‘i>d ibn al-Musayyab di Madinah, al-Sya‘bi> di Kufah, H{asan al-Bas}ri> di Bas}rah, dan Makh}u>l di Sya>m.[34]
Demikianlah keterangan-keterangan yang menunjukkan bahwa praktek jarh} dan ta‘di>l dalam hal mengidentifikasi periwayat-periwayat untuk dipastikan ke-s\iqah-annya dan diterima atau ditolaknya riwayatnya, telah dilanjutkan oleh para sahabat Nabi saw. sampai ke generasi tabi‘i>n dan mengalami banyak perkembangan.
3.    Argumentasi logis
Secara logis, kebutuhan terhadap ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l pun tak dapat dipungkiri. Kebenaran suatu berita atau otentiknya suatu hadis sangat bergantung kepada siapa orang-orang yang secara berantai menyampaikan hadis tersebut. Dalam konteks keseharian, jika suatu berita didengarkan dari orang yang terbiasa berdusta dalam kesehariannya, maka lazimnya setiap perkataannya kemudian patut dicurigai dan tidak dipercayai. Apatah lagi, dalam konteks Hadis Nabi saw.
Namun—dalam konteks hadis—periwayat-periwayat tersebut tidaklah hidup di zaman sekarang, yang secara langsung bisa dilihat dan disaksikan kejujuran atau kebohongannya. Oleh karena itu, dibutuhkan informasi dari pendahulu yang ahli dan juga dipercayai dalam menilai dan menyampaikan informasi kepada generasi selanjutnya tentang perihal kehidupan para periwayat tersebut.
Berdasarkan kepentingan tersebut, maka ulama berijtihad dalam meneliti sanad-sanad hadis, khususnya kualitas para periwayat. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘ilmu al-naqdi atau ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l. Mereka lantas menyusun berbagai jenis kitab biografi, kitab sejarah, kitab t}abaqah, yang di dalamnya dijelaskan berbagai sisi kehidupan masing-masing periwayat, dari kelahirannya, pertumbuhan sampai kematiannya, bagaimana ia belajar dan menuntut ilmu, kepada siapa ia berguru, kepada siapa ia mengajarkan ilmunya, bagaimana aqidah, ibadah, dan  mu‘amalahnya, dan hal-hal terkait lainnya.[35]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat pemakalah rangkum ialah sebagai berikut:
1.      Mukharrij al-Hadi>ts ialah seseorang yang menyebutkan suatu hadis beserta sanad di dalam kitabnya.
2.      Kualitas pribadi seorang Mukharrij al-Hadi>ts tidak terlepas dengan kriteria sanad yang shahih yaitu adil dan dhabitnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya argumen atau penilaian dari para ulama yang juga lebih dikenal dengan ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l.
3.      Ilmu al-jarh{ wa al-ta‘di>l merupakan ilmu yang sangat signifikansi (penting) demi kebersihan suatu sanad, dalam mencapai ke-shahih-an hadis.
4.      Argumen-argumen yang dibuktikan dari beberapa firman Allah swt maupun hadis Nabi saw (naqli) bahwa al-jarh{ wa al-ta‘di>l sangat di perbolehkan untuk kepentingan syar’i semata, dan bukan untuk mencela manusia lainnya.
5.      Dan sebagaimana dibolehkan jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenarannya.

B.    Implikasi
Makalah ini disusun dengan kerja keras, meskipun dengan keterbatasan ilmu yang pemakalah miliki dan masih dalam proses pembelajaran, tentunya masih banyak kekurangan di dalamnya maka dari itu kritik serta saran dari teman-teman dan khususnya dosen pembimbing, sangat pemakalah harapkan untak kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

al-‘Asqala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ujr Syiha>b al-Di>n. Tah{z\i>b al-Tah}z\i>b. Juz. IV. [t.t]: Muassasah al-Risa>lah. [t.th].
‘Itr, Nu>r al-Di>n.  al-Madkhal ila>  ‘Ulu>m al-H{adi>s\ . al-Madi>nah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru dalam Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta: Renaisan. 2005.
Asy‘as\, Abu> Da>wud Sulaima>n ibn. Sunan Abi> Da>wud wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut: Da>r Ibn H{azm. 1997. Juz. V.
al-Bukha>ri>, Al-Ima>m. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz. V. Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r. 1987.
ibn H{anbal, Ah{mad. al-‘Ilal wa Ma‘rifat al-Rija>l. Cet. II; Riya>d}: Da>r al-Kha>ni>. 2001.
Hasyim, Ahmad ‘Umar. Qawa>‘id Us}u>l al-H{adi>s\. Beirut: Da>r al-Fikr [t.th].
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. IV; Jakarta: AMZAH. 2010.
al-Lat}i>f, ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd D{awa>bit} al-Jarh} wa al-Ta‘di>l. Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah. 1412H.
Muslim, Al-Ima>m. S{ah}i>h} Muslim. Juz. IV. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi> [t.th].
al-Qurtubi. al-jami’ li Ahkam al-Qur’an.  juz XVII. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi. 1387 H/ 1967 M.
Ibn al-S{ala>h}. ‘Ulu>m al-H{adi>s\. al-Madi>nah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah. 1972
Sholahuddin, Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008.
al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi>. juz I . Beirut: Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah. 1975.
al-T{abra>ni, Sulaima>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim. Mu‘jam al-Kabi>r. Juz 17. Maus}il: Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H{ikam. 1983.
al-Tirmiz\i>, Abu> ‘I<sa.> Sunan al-Tirmiz\i>. Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>. [t.th]. Juz. V.
al-Z|ahabi>, Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad. Mi>za>n al-I‘tida>l fi> Naqd al-Rija>l. Juz. II. Kairo: ‘Isa al-Ba>b al-H{alabi> wa Syurakah. 1963.



[1] al-Qurtubi, al-jami’ li Ahkam al-Qur’an,  juz XVII (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1387 H/ 1967 M), h. 17.
[2] Term ‘kritik ekstern’ adalah istilah yang diperkenalkan Arifuddin Ahmad, yang berarti kritik sanad bersama term kritik matan yang disebut sebagai ‘kritik intern’. Istilah ini menjadi sebuah kontribusi dalam pembaruan dalam kajian hadis kontemporer, di samping istilah ‘kaidah mayor’ dan ‘kaidah minor’ dalam kaidah kes}ah}i>h}an sanad dan matan hadis. Lihat: Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru dalam Memahami Hadis Nabi; Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta: Renaisan, 2005), h.
[3] Nu>r al-Di>n ‘Itr, al-Madkhal ila>  ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 12.
[4] Abu> Da>wud Sulaima>n ibn Asy‘as\, Sunan Abi> Da>wud wa Ma‘a>lim al-Sunan (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 1997), Juz. V, h. 234.
[5] Ibid., h. 14.
[6] Standar kes}ah}i>h}an hadis dalam kesepakatan jumhur yaitu: 1) sanad bersambung; 2) periwayat yang ‘a>dil; 3) periwayat yang d}a>bit}; 4) terhindar dari sya>z\; dan 5) terhindar dari ‘illat. Lihat: Ibn al-S{ala>h}, ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (al-Madi>nah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), h. 10.; Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawa>‘id Us}u>l al-H{adi>s\ (Beirut: Da>r al-Fikr, [t.th], h. 39.
[7] Di samping standar kes}ah}i>h}an matan, yang juga  dijabarkan dari 5 kriteria kes}ah}i>h}an yang dijelaskan sebelumnya.
[8] Setidaknya ada 15 kriteria ‘a>dil yang diajukan oleh ulama, yaitu: 1)beragama Islam; 2) ba>ligh; 3) berakal; 4) taqwa; 5) memelihara muru>’ah; 6) teguh dalam agama; 7) tidak berbuat dosa besar; 8) menjauhi dosa kecil; 9) tidak berbuat bid’ah; 10) tidak berbuat maksiat; 11) tidak berbuat fasik; 12) menjauhi hal-hal mubah yang merusak muru’ah; 13) baik akhlaknya; 14) dapat dipercaya beritanya; dan 15) biasanya benar. Kriteria tersebut dirampingkan menjadi 4, yaitu: 1) beragama Islam; 2) mukallaf; 3) melaksanakan ketentuan agama; 4) memelihara muru’ah. Lihat: Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 113-118 dan 134.
[9] Kriteria d}a>bit} adalah: a) periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, b) periwayat memahami dengan baik riwayat yang diterimanya, dan c) periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah diterimanya kapan saja dikehendaki. Lihat: Ibid., h. 120.
[10] Sejumlah kitab menjelaskan secara tegas bahwa siqah merupakan gabungan dari sifat ‘a>dil dan d}a>bit}. Lihat: al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi> Syarh Taqri>b al-Nawawi> (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1975), juz I, hlm. 63.
[11] Untuk menetapkan ke-‘adil-an periwayat.
[12] Untuk menetapkan ke-d}abit}-an periwayat.
[13] Salah satu indikator utamanya—selain ungkapan para ulama dalam berbagai kesempatan—adalah bertebarannya karya-karya ulama, khususnya terkait rija>l al-h}adi>s\ yang memuat biografi para periwayat hadis, dari kalangan sahabat sampai ke kalangan mukharrij, serta informasi-informasi terkait kehidupan pribadi mereka, kualitas hafalan, kapasitas keilmuan, dan sebagainya.
[14] Q.S. al-H{ujura>t: 12.
[15] Al-Ima>m Muslim, S{ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>, [t.th]), Juz. IV, h. 1986.
[16] Ibid., Juz. IV, h. 2001.
[17] ‘Abd al-‘Azi>z ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m al-‘Abd al-Lat}i>f, D{awa>bit} al-Jarh} wa al-Ta‘di>l (Madinah: al-Ja>mi‘ah al-Isla>miyah, 1412H.), h. 16-17.
[18] Al-Ima>m al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>  (Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1987), Juz. V, h. 2244.
[19] Al-Ima>m Muslim, Op. Cit.,  Juz. IV, h. 195.
[20] Q.S. al-H{ujura>t: 6.
[21] Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Juz 16, h. 312.
[22] Q.S. al-Naml: 27.
[23] Q.S. al-Taubah: 107. Bandingkan: Q.S. al-H{asyr: 11.
[24] Q.S. al-Muna>fiqu>n: 1.
[25] Q.S. al-H{asyr: 8.
[26] Al-Ima>m al-Bukha>ri>, Op. Cit., Juz. VI, h. 2682. 
[27] Abu> ‘I<sa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i> (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>s\ al-‘Arabi>, [t.th]), Juz. V, h. 44.
[28] Ah{mad ibn H{anbal, al-‘Ilal wa Ma‘rifat al-Rija>l (Cet. II; Riya>d}: Da>r al-Kha>ni>, 2001), h. 21.
[29] Ah}mad ibn H{anbal, Op. Cit., h. 22.
[30] Abu> Da>wud, Loc. Cit.
[31] Sulaima>n ibn Ah}mad ibn Ayyu>b Abu> al-Qa>sim al-T{abra>ni, Mu‘jam al-Kabi>r (Maus}il: Maktabat al-‘Ulu>m wa al-H{ikam, 1983), Juz 17, h. 268.
[32] Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ujr Syiha>b al-Di>n al-‘Asqala>ni>, Tah{z\i>b al-Tah}z\i>b ([t.t]: Muassasah al-Risa>lah, [t.th]), Juz. IV, h. 87.
[33] Abu> ‘Abdillah Muh}ammad ibn Ah}mad al-Z|ahabi>, Mi>za>n al-I‘tida>l fi> Naqd al-Rija>l (Kairo: ‘Isa al-Ba>b al-H{alabi> wa Syurakah, 1963), Juz. II, h. 381.
[34] Lihat: Ibid., Juz. IV, h. 177.
[35] Lihat: Ah}mad ibn H{anbal,  Op. Cit., h. 19. Dijelaskan panjang lebar tentang muatan kitab-kitab rija>l, sampai kepada rekaman-rekaman jumlah hadis yang diriwayatkan periwayat, berapa di antara riwayatnya yang s}ah}i>h} dan d}a‘i>f, apakah ia konsisten dalam periwayatannya dan tidak mengalami pikun sebelum wafatnya, dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
ever after Blogger Template by Ipietoon Blogger Template